Saya ingin sedikit berbagi cerita, sebagai pelaku jasa sound system yang sudah lama melayani berbagai acara masyarakat, dari pengajian hingga hajatan. Saya pribadi sangat setuju dengan pengharaman terhadap pesta rakyat yang menyimpang dari nilai moral, budaya, dan agama termasuk praktik-praktik sound horeg yang berlebihan, vulgar, dan tidak menghormati lingkungan sekitar.
Namun ada hal yang cukup mengganggu kami di lapangan. Sejak munculnya fatwa haram yang menyebut istilah sound horeg, banyak penyedia jasa sound system yang bekerja secara profesional dan santun juga ikut terkena imbasnya. Hal ini terjadi karena istilah sound dan horeg dimaknai secara sempit oleh masyarakat umum. Padahal sound rumahan pun bisa horeg dan merusak telinga terutama bagi mereka yang tidak toleran terhadap suara musik, meski masih dalam batas wajar.
Padahal, "sound" hanyalah alat suara, dan "horeg" dalam bahasa Jawa berarti bergetar yang secara teknis hanya menggambarkan kekuatan daya audio, bukan isi konten atau moral acaranya. Tetapi karena kurangnya penjelasan dalam fatwa tersebut, istilah ini menimbulkan stigma negatif dan disebut haram. Ini sangat disayangkan. "Sound Horeg" Secara bahasa, "sound" berarti suara, dan "horeg" dalam bahasa Jawa berarti bergetar atau berdentum. Dalam praktiknya, istilah ini merujuk pada penggunaan sound system dengan kekuatan tinggi, biasanya dalam acara rakyat. Sayangnya, istilah ini kini diasosiasikan langsung dengan maksiat, kebisingan, dan kerusakan moral, padahal sound system hanyalah alat, bukan pelaku.
Contoh nyata di lapangan
Saya pribadi mengalami beberapa kejadian yang menunjukkan kompleksitas situasi ini. Pernah saya disewa untuk sebuah acara pernikahan. Ketika acara dimulai dan suara mulai terdengar ke luar, tetangga si penyewa langsung komplain marah-marah karena merasa suara terlalu keras. Padahal volume dan jumlah speaker yang digunakan masih dalam batas wajar untuk event tersebut.
Coba komunikasikan ke penyewa walau saya sudah berusaha profesional dan kooperatif berharap ada solusi. Tapi yang terjadi justru pertengkaran dan perdebatan, saya merasa bersalah dan kasihan yang punya hajat.
Hal serupa juga terjadi di acara pengajian. Ketika volume saya pelankan karena protes dari depan, pihak belakang justru minta dikeraskan karena tidak terdengar. Situasi seperti ini membuktikan bahwa isu kebisingan bukan sekadar masalah teknis, tapi juga soal komunikasi dan ekspektasi yang belum selaras.
Stigma yang merugikan profesi
Banyak dari kami, pelaku sound system, kini merasa serba salah. Kami bukan sekadar penyedia alat, tapi juga berperan dalam mengatur estetika dan kenyamanan acara. Namun sejak istilah sound horeg dikampanyekan tanpa edukasi yang menyeluruh, masyarakat jadi cenderung menyamaratakan semua sound system sebagai sumber kebisingan atau maksiat, padahal kenyataannya tidak sesederhana itu.
Perlu dipahami: bukan alatnya yang salah, tapi perilaku sebagian pengguna dan penyelenggara acara yang menyimpang. Yang harus dikritisi adalah:
-
Konten acara yang vulgar dan tidak senonoh
-
Tata busana artis atau pengisi acara yang tidak sesuai norma
-
Perilaku penonton yang tidak terkontrol
-
Etika jam tayang dan gangguan lingkungan
Sound system bisa menjadi media kebaikan
Jika digunakan secara benar, sound system bisa menjadi media syiar, budaya, dan edukasi. Banyak juga acara yang menggunakan sound besar untuk:
-
Pengajian akbar
-
Selametan desa
-
Lomba seni tradisional
-
Pementasan religi
Dan masyarakat menerimanya dengan baik ketika acaranya rapi dan sopan.
Usulan Edukasi & penataan ulang
Kami menyambut baik adanya regulasi atau fatwa yang bertujuan memperbaiki moral masyarakat. Tapi kami juga berharap, istilah-istilah yang digunakan diperjelas dan disosialisasikan dengan bijak.
Jangan sampai istilah “sound horeg” menjadi senjata yang membunuh kreativitas dan pekerjaan orang-orang yang sebenarnya niatnya baik. Kami mengusulkan agar:
-
Pemerintah desa/kecamatan menyusun regulasi perizinan sound yang mencakup bukan hanya batas volume dan waktu, tapi juga konten acara dan kelayakan moral.
-
Komunitas sound diberi ruang untuk berdiskusi dan menyampaikan aspirasi.
-
Masyarakat diberi edukasi tentang perbedaan sound profesional dan penyimpangan kontennya.
Sound bukan musuh, tapi alat
Sound system ibarat pisau bisa digunakan untuk memasak, bisa juga untuk menyakiti. Yang menentukan adalah siapa yang menggunakan, dan untuk apa. Kami para pelaku jasa audio yang peduli etika akan terus berjuang mengembalikan citra baik dunia sound system, dengan cara:
-
Profesional dalam pelayanan
-
Selektif terhadap jenis acara
-
Mengutamakan etika dan norma
Pesta rakyat nonmoralis dan nonagamis memang pantas diharamkan. Tapi jangan bunuh profesi orang-orang yang menjunjung etika karena generalisasi istilah.
Pesta rakyat nonmoralis memang patut ditolak, bahkan diharamkan. Tapi menyamaratakan semua pengguna sound system sebagai pelaku maksiat adalah tindakan tidak adil. Sound system hanya alat. Yang harus diperbaiki adalah perilaku pengguna, penyelenggara acara, serta sistem perizinan dan pengawasan kontennya. Jika Sound Horeg di haramkan dan Sound Tersebut disewa untuk pengajian misalkan, apakah lantas akan menjadi halal lagi?
Yang benar diharamkan adalah acara dengan unsur erotis, maksiat, atau mengganggu masyarakat, bukan sound system-nya. Tapi karena istilah "horeg" sudah ditempelkan pada alat, bukan pada kontennya, masyarakat jadi salah kaprah. Bahkan ketika alatnya digunakan untuk kebaikan, tetap dicap buruk. Sound system menjadi halal atau haram tergantung dari cara penggunaannya, bukan dari bentuk, ukuran, atau siapa yang menyewakannya.
Mari kita jaga bersama moral bangsa tanpa mematikan profesi yang jujur dan bermanfaat. Saatnya mengembalikan citra positif dunia sound system sebagai media kebaikan, budaya, dan dakwah.
Hormat saya, Pelaku Sound System Peduli Moral dan Budaya